Kekeliruan Legalitas dan Ketidakrelevanan BAS: Telaah Putusan MK dan UU Advokat

GAKORPAN.COM. JAKARTA PUSAT.- Legalitas dan Ketidakrelevanan BAS: Telaah Putusan MK dan UU Advokat  Penyampaian bukti dalam perkara hukum sering kali menghadapi kendala teknis, salah satunya adalah keterbatasan kolom yang tersedia untuk mengunggah dokumen.

Namun, kendala tersebut kini telah diperbaiki dan seluruh bukti, termasuk tambahan yang merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2003, telah diunggah secara lengkap.

Lihat Ini :https://TV GAKORPAN NEWS 

Salah satu poin penting dalam perkara ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2019, yang dalam poin keempatnya menegaskan bahwa organisasi advokat harus telah terbentuk selama dua tahun sebelum dapat diakui secara hukum. Namun, kenyataannya, hingga saat ini, organisasi tersebut tidak pernah benar-benar terbentuk.

Dalam konteks Berita Acara Sumpah (BAS), hal ini menjadi perdebatan, terutama karena berdasarkan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) huruf f juncto Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Advokat, keabsahan organisasi advokat menjadi kunci utama dalam pelaksanaan sumpah advokat. Seharusnya, organisasi advokat ini telah terbentuk sejak 25 April 2025, yaitu dua tahun setelah Undang-Undang Advokat yang baru ditetapkan pada 5 April 2023.

Ketidakrelevanan BAS semakin diperjelas dengan fakta bahwa hingga kini tidak ada organisasi advokat yang memenuhi Pasal 3 ayat (1) huruf f terkait kewajiban mengikuti pelatihan dari organisasi advokat. Dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia, profesi advokat juga tidak tercatat secara khusus sebagai kategori tersendiri, berbeda dengan pengacara dan jaksa yang telah memiliki landasan hukum jelas dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan RI No. 24 Tahun 2013.

Lebih lanjut, anggapan bahwa jaksa dapat dikategorikan sebagai advokat bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2021. Dalam aturan tersebut, jaksa, terutama Jaksa Agung, tetap berada dalam kategori pengacara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2).

Keanehan lainnya muncul dalam perkara No. 564/Pdt.G/2024/PN Jakarta Pusat, di mana alat bukti yang disampaikan tergugat merujuk pada Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, yang seharusnya bukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1987. Mahkamah Agung bahkan melakukan revisi terhadap kesalahan penulisan nama hakim, padahal, menurut prinsip hukum, putusan hanya sah apabila dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, bukan melalui revisi tertulis.

Menurut Richard William, salah satu anggota tim pengacara dalam perkara ini, perbaikan putusan seharusnya dilakukan melalui sidang ulang, bukan sekadar revisi administratif. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait legalitas dan keabsahan putusan yang telah dikeluarkan.

Dengan adanya berbagai kejanggalan hukum ini, penting bagi para praktisi hukum dan masyarakat untuk terus mengawasi jalannya proses peradilan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

JANSEN,PALTI

Rekomendasi Berita

Back to top button