Masyarakat Pulau Pari Menolak Pertambangan Pasir, Kondisi Terkini Perjuangan dan Harapan di Tengah Tantangan

Jakarta Utara -| Masyarakat Pulau Pari menolak pertambangan pasir, kondisi terkini masyarakat Pulau Pari atas perjuangan dan harapan di tengah tantangan.Pulau Pari adalah salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, salah satu destinasi favorit bagi warga jakarta yang kerap melakukan plesiran ke kawasan Pulau Seribu Jakarta utara kini tengah menghadapi berbagai tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sebagai warga pesisir dan pulau kecil. Rabu, 22/01/2025.

Dilansir dari pers rilis yang dikeluarkan oleh LBH Jakarta (bantuanhukum.or.id), terdapat adanya aktivitas excavator (beko) yang beroperasi sejak siang hingga sore hari pada tanggal 17 Januari 2025.

Kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang sebelumnya kerap mendapat penolakan dan pengusiran oleh warga karena telah melakukan pengerukan pasir laut guna pengembangan fasilitas pariwisata oleh swasta pada kawasan perairan dangkal di Gugusan Pulau Pari.

Lihat Juga : https://www.youtube.com/watch?v=HrTEVYPvflY&list=PLoENZU8Eg2r1liFu8o2p1WB2iWRQr2KHJ&index=12

Saat mendengar adanya aktivitas pengerukan pasir laut yang dianggap merugikan dan tidak melibatkan persetujuan dari masyarakat setempat, sontak warga langsung datang dan meminta penghentian dari adanya aktivitas tersebut. Sebelumnya, aksi penghentian oleh masyarakat juga pernah terjadi di tanggal 01 November 2024 silam.

Adanya upaya penghentian dan penghadangan aktivitas beko, diketahui tak lepas dari adanya penolakan atas pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di Gugus Lempeng,

Karena pembangunan tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada ekosistem laut dan rusaknya terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.

Masih dari pers rilis yang dikeluarkan oleh LBH Jakarta, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin dalam statement yang diberikan kepada LBH Jakarta tmenegaskan bahwa Gugus Lempeng telah lama dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar mulai dari penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan dari pemerintah,

Akan tetapi murni swadaya masyarakat secara kolektif sebagai bentuk pengelolaan dan penguasaan terhadap ruang hidupnya.

Selain itu, aktivitas proyek tersebut juga dikhawatirkan akan berdampak terhadap pembatasan atau larangan melaut bagi para nelayan ketika melintas di wilayah tersebut sebagaimana yang saat ini terjadi di Pulau Biawak atau Pulau Kongsi.

Pak Sulaiman, selaku Ketua RW 04 Pulau Pari memberikan keterangan,” yang menyebutkan bahwa hingga sampai saat ini belum semua masyarakat Pulau Pari mengetahui tentang adanya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut di gugusan Pulau Pari yang telah diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Warga Pulau Pari menolak seluruh aktivitas pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan warga dan berpotensi merusak ekosistem kelautan dan perikanan yang ada di gugusan Pulau Pari.

Beberapa warga Pulau Pari yang baru mengetahui adanya PKKPRL tersebut telah mengadukan dan meminta pendampingan kepada WALHI, KIARA, LBH Jakarta dan JKPP untuk membantu warga Pulau Pari supaya PKKPRL ini segera dicabut karena warga Pulau Pari menolak adanya PKKPRL tersebut.

Penolakan penerbitan PKKPRL tersebut didasarkan pada tidak adanya persetujuan dari warga atas rencana pembangunan proyek tersebut, penerbitan PKKPRL juga tidak transparan, bahkan ada dugaan maladministrasi oleh KKP.

Salah satu dampak nyata dari adanya PKKPRL tersebut adalah warga Pulau Pari mulai merasakan adanya gangguan dan intimidasi dari pihak-pihak yang mengaku dari Komando Distrik Militer (Kodim) Angkatan Darat, termasuk dugaan untuk memerintahkan pekerja proyek untuk melakukan pengerukan pasir dan pencabutan mangrove dengan menggunakan alat berat.

Atas adanya bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan oleh koalisi lembaga masyarakat yang membantu mendampingi advokasi masyarakat Pulau Pari dalam menolak pertambangan pasir laut,

Maka dari itu kemudian muncul desakan masyarakat agar Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia bersedia untuk mencabut PKKPRL dan menghentikan pembangunan cottage apung PT. CPS karena berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan perampasan ruang hidup di Pulau Pari.

Selain itu, masyarakat Pulau Pari juga mendesak para panglima TNI untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran interdisipliner atas tindakan pengamanan dan dugaan perintah pengerukan pasir serta pencabutan mangrove di kawasan gugusan Pulau Pari yang dilakukan oleh TNI AD Kodim.

Kemudian, warga juga turut mendesak Ombudsman untuk melakukan adanya pemeriksaan atas dugaan maladministrasi atas adanya penerbitan PKKPRL yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,

Serta mendorong pihak Komnas HAM untuk melakukan pemantauan lapangan untuk memastikan tidak tidak adanya tindakan kekerasan atas penolakan proyek cottage apung dan dermaga wisata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang dilakukan oleh warga Pulau Pari.

Chairina. A
Sumber gambar : bantuanhukum.or.id

Rekomendasi Berita

Back to top button