Pedagang Asongan DiHunimua Dan Waipirit Blokade Pelabuhan Hunimua: Tuntut Hak Berjualan di Kapal Ferry
Hunimua, Gakorpan News – Para pedagang asongan di Pelabuhan Hunimua, Negeri Liang, menghadapi tantangan besar dalam mencari nafkah setelah dilarang berjualan di dalam kapal ferry oleh pihak ASDP.
Larangan ini membuat para pedagang merasa dirugikan karena mayoritas pendapatan mereka bergantung pada penjualan di dalam kapal, di mana para penumpang lebih mudah membeli barang dagangan mereka.
Saat ini, para pedagang hanya diperbolehkan berjualan di luar kapal. Namun, kondisi tersebut tidak efektif, mengingat banyak penumpang yang membawa barang bawaan atau menggendong anak, sehingga sulit untuk berbelanja sebelum naik ke kapal. Beberapa penumpang bahkan meminta para pedagang untuk ikut ke dalam kapal agar mereka bisa membeli barang dagangan.
Merasa aspirasinya tidak didengar, para pedagang asongan akhirnya melakukan aksi unjuk rasa dengan memblokade jalan masuk dermaga menggunakan ranting dan kayu kering sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap aturan baru yang dikeluarkan oleh PT ASDP Indonesia Ferry. Aksi tersebut dimulai sejak pukul 08.00 WIT dan berlangsung hingga siang hari di depan Pelabuhan Hunimua, Negeri Liang, pada Minggu (01/12/24).
Dalam aksi tersebut, mereka meminta pihak ASDP dan dinas perhubungan untuk mengizinkan mereka kembali berjualan di dalam kapal.
Salah satu pedagang, Mama Naba, yang tinggal di Negeri Liang, saat di hubungi siang tadi oleh Pimpinan Redaksi Media Online Globaltimur.com melalui via telfon. Ia mengatakan, “Kami hanya bisa menjual di dalam kapal, karena di luar kapal jarang ada penumpang yang mau beli. Kami sudah dua kali memohon kepada pihak ASDP untuk diizinkan naik ke kapal, meskipun harus berbagi trip. Tapi mereka tetap tidak mengizinkan.”
Mama Naba juga menjelaskan bahwa para pedagang asongan selama ini membayar retribusi sebesar Rp2.000 per hari atau Rp60.000 per bulan kepada pihak ASDP untuk berjualan di dalam kapal. Namun, larangan ini membuat mereka kehilangan mata pencaharian utama.
Para pedagang berharap pihak ASDP dan dinas perhubungan dapat segera mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Mereka menegaskan bahwa aksi yang dilakukan bersifat damai dan hanya bertujuan untuk memperjuangkan hak mereka mencari nafkah.
“Kami tidak memalang pintu atau membuat keributan. Kami hanya ingin menyampaikan aspirasi kami agar bisa kembali berjualan di dalam kapal,” pungkas Mama Naba.
Sementara itu, Kepala ASDP Indonesia Ferry Cabang Ambon, Cristopher Samosir, saat dikonfirmasi melalui telepon menyatakan bahwa kebijakan larangan berjualan di atas kapal diterapkan demi keselamatan penumpang.
“Berdasarkan regulasi, hanya penumpang dengan identitas resmi sebagai penumpang yang boleh berada di atas kapal. Pedagang asongan yang tidak memiliki izin resmi dilarang berjualan. Kami sudah menyediakan lahan untuk mereka berjualan di ruang tunggu pelabuhan,” ujarnya.
Cristopher juga menjelaskan bahwa pihak ASDP telah melakukan sosialisasi kepada 53 pedagang asongan sebelumnya, bahkan melibatkan tokoh masyarakat setempat untuk mencari solusi bersama. “Kami telah menyepakati pembentukan paguyuban agar lebih terorganisasi, dan mereka bisa menitipkan barang dagangan di kantin khusus,” tambahnya.
Namun, protes hari ini menunjukkan adanya ketidakpuasan dari sebagian pedagang yang merasa tidak diakomodasi. “Kami akan melakukan mediasi kembali untuk mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak. Perubahan memang tidak selalu mudah, tapi kami berkomitmen mencari solusi agar tetap memenuhi aturan keselamatan sekaligus membantu pedagang mencari nafkah,” ujar Cristopher.
Ia juga menegaskan bahwa mulai Januari 2025, aturan larangan berjualan di atas kapal akan diberlakukan sepenuhnya. “Kami berusaha adil, tetapi keselamatan adalah prioritas utama,” tutupnya.
Aksi protes ini masih berlangsung hingga siang hari, sementara pihak ASDP berjanji segera melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan para pedagang untuk menyelesaikan persoalan ini.
Selain itu, Ridwan Marasabessy salah satu pegawai ASDP yang bertugas di Hunimua kepada Media ini mengatakan” pihaknya dalam penerapan aturan pelarangan itu mengacu pada UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran Bab VII bagian ke satu terkait tatanan kepelabuhanan, peraturan pemerintah PM No. 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan, peraturan pemerintah PM No. 91 tahun 2021 tentang Zonasi di kawasan pelabuhan yang di gunakan untuk melayani angkutan penyeberangan. (V374)