Sejarah Berdirinya Agama Hindu

GAKORPAN.COM- Agama  Hindu merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran.

Di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang “moralitas sehari-hari” yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan.

Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.

Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai “agama tertua” di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म), artinya “darma abadi” atau “jalan abadi” yang melampaui asal mula manusia.

Agama ini menyediakan kewajiban “kekal” untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.

Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri.

Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer.

Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, “Sintesis Hindu” tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi.

Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah “Hinduisme” mulai dipakai secara luas), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen.

Baca Juga :Sejarah Terbentuknya Agama Islam

Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan “modernisme Hindu”, yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.

Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan.

Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.

Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang “terdengar”) dan Smerti (apa yang “diingat”). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah WedaUpanishad (keduanya tergolong Sruti), MahabharataRamayanaBhagawadgitaPuranaManusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).

Baca Juga :Sejarah Awal Terbentuknya Agama Kristen

Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa, agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam.

Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus. Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah ‘hindu’ muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu.

Para sejarawan pun menyebut peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah ‘Hindu’ merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.

Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu. Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti “Negeri para Hindu“.

Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca. 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata.

Daftar Agama Terbesar Pemeluknya di Dunia

Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha. Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi “Hinduisme”—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.

Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu, dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.

Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif. Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius

Pengaruh kolonial

Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12. Gagasan “Hinduisme” sebagai “tradisi keagamaan dunia yang tunggal” dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada “kasta-kasta brahmana” sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.

Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan terhadap Weda sebagai “esensi” bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi hubungan ‘doktrin Hindu’ masa kini dengan berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).

Baca Juga :Sejarah Berdirinya Agama BUDDHA

Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan “brahmanisasi” dalam masyarakat Hindu.

Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa.

Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum Brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang “suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni”.

Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional. Banyak penganutnya yang menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya “darma yang abadi” atau “jalan yang abadi”.

Istilah ini mengacu kepada kewajiban “abadi” yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur.

Ini berbeda dengan swadarma, artinya “darma seseorang”, yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.

Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.

Menurut Encyclopædia Britannica:

Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu.

Maka dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang “abadi”, yang kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, tapi juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.

Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut “modernisme Hindu” oleh orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.

Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.

Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa “percikan dari Tuhan” berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan “sifat ilahi bawaan” tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.

Menurut Flood, pandangan Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.

Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan filsafat Barat dan India.

Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.

Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman tradisional orang Barat.

Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang sebagai suatu kategori dengan “batas-batas yang kabur”, daripada suatu lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik.

Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu ‘pendekatan Teori Prototipe’ untuk mendefinisikan Hinduisme.

Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.

Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.

Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta “transformasi spiritual umat manusia.” Sebagian perkembangannya disebabkan oleh “re-enkulturasi” atau efek Pizza, yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di Indiia

Karakteristik

Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.

Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman.

Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal ataupun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis.

Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).

Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah ‘Hinduisme’ atau ‘agama Hindu’, tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.

 Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India. Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi, yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.

Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau “tradisi penolakan” dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,tradisi bangsa Dravida,serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.

Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan ca. 300 M, pada permulaan periode “Wiracarita dan Purana” atau “periode Praklasik”), “sintesis Hindu” mulai timbul (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.

 Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf.

Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti).

Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan, sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.

Dari India Utara, “sintesis Hindu” beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.

Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal; dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer; dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika “orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis”.

Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.

Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki “sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal.” Agama Hindu tidak mengenal “satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman”, namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India. Menurut Mahkamah Agung India:

Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan suatu jalan hidup.

Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah “agama Hindu” adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh. Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi memiliki persamaan.

Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.

Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, tapi alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.

Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari “keselamatan” (salvation), namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan. Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, tapi berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan.

Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang “keselamatan” adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.

Persamaan

Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk pelaksanaannya.

Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme.

Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa. Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).

Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya. Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, tapi masih memiliki kepercayaan akan Siwa.

Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.

Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan.

Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.

Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang “benang merah” terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai “enam sistem” (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum.” Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.

Hacker menyebut perihal tersebut sebagai “inklusivisme”, dan Michaels berpendapat tentang “sifat identifikasi diri”. Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu, dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an. Menurut Michaels:

Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya.

Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau.

Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.

Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern

(WIKIPEDIA/EDITOR)

Rekomendasi Berita

Back to top button