Spiritualitas Esensi Dari Perjalanan Mendekat Kepada Tuhan Dengan Sikap Tulus dan Ikhlas.
Gakorpan News – Gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritualitas itu diperlukan – minimal – untuk menekan egosentrisitas diri yang selalu ingin merasa lebih dari orang lain.
Mulai dari bicara saja, tidak sedikit orang yang selalu ingin didengar omongannya, tapi ogah mendengarkan pembicaraan orang lain.
Perilaku yang berbasis pada egosentrisitas ini memang menjadi semacam penyakit bawaan akibat dari hasrat untuk terus tampil dan mendapat perhatian dari berbagai kalangan, sehingga akan dianggap wah — lebih hebat, lebih okey dan lebih dalam semua hal dari orang lain — yang acap dianggap juga lebih rendah dari diri sendiri.
Itulah sebabnya, orang yang pandai mengolah psikologi selalu merasa perlu memberi sanjungan — bahkan acap berlebihan — sehingga muncul istilah budaya angkat telor dalam kebiasaan untuk masyarakat tertentu — yang terkadang pun jadi berlebihan hingga menimbulkan budaya baru yang menjurus pada sifat dan sikap penjilat.
Jadi, budaya asal bapak senang itu bermula dari perilaku serupa itu yang terus salah berproses hingga jadinya menjerumuskan pihak lain menjadi manusia munafik.
Laku spiritual yang paling minimal untuk dapat diperoleh impak baiknya adalah kemampuan menahan dan mengendalikan diri agar tidak pongah, jumawa atau bahkan sombong, sehingga tak sudi undur sedikit pun untuk mengalah demi menjaga banyak hal yang berkaitan dengan etika serta moral dalan bercampur gaul dengan orang lain.
Celakanya, ketika kita mampu menahan agar tidak terlalu banyak ngomong, pihak lain justru acap merasa lebih pintar — atau setidaknya merasa lebih mengerti tentang banyak hal — yang sesungguhnya sangat minimal dia pahami maupun dia pahami.
Jadi perasaan lebih banyak mengetahui tentang segala sesuatu ini juga seperti sejenis penyakit bawaan yang berjenis kelamin lain. Akibatnya bagi orang punya penyakit bawaan seperti ini, dominan lupa diri. Bahkan menjadi over percaya diri. Dalam petuah leluhur suka bangsa Melayu inilah yang dimaksud daro pepatah : “tak pandai mengukur baju di badan” itu.
Kebangkitan kesadaran spiritual pun tidak cukup untuk mendapatkan banyak manfaat, bila tidak dilanjutkan dengan pemahaman spiritual yang serius untuk dinikmati dan cercapi sebagai bagian ornamentasi hidup mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ornamentasi hidup itu bisalah disebut semacam upaya menghias diri sebaik mungkin — tapi tidak norak dan berlebihan — seperti saat akan sholat menghadap Tuhun dengan semua sandangan yang bersih sebagai pertanda ketulusan dan keikhlasan hati — meski semua pakaian itu tidak harus baru, seperti banyak orang saat menghadapi hari raya lebaran.
Pendek kata, laku spiritual itu perlu dan harus dilalukan oleh semua orang — tanpa perlu mempersoalkan agamanya — karena yang lebih penting adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab hanya dengan cara itu setiap manusia dapat menjauhkan diri dari sifat rakus dan tamak selama manusia masih berada di dunia, sebelum akhirnya harus hidup diakhirat.
Artinya, sikap tamak dan rakus manusia itu karena sifat dan sikap bawaan juga selama manusia masih berada di dunia. Karena itu, melalui laku spiritual yang intens dapat sedikit meredam hasrat dan birahi manusiawi yang duniawi sifatnya ini, sebelum berada di akherat yang acap tidak dipercaya oleh banyak orang itu, bahwa di sana kelak ada kehidupan yang baru yang pasti tidak akan sama dengan tata cara kehidupan selama di dunia.
Pemahaman spiritual itu bukan kenik, bukan pula dunia uka-uka. Pemahaman spiritual itu adalah upaya untuk mengerti perlu dan pentingnya laku spiritual sebagai upaya bagi setiap orang yang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Maka itu tidak ada perkecualian untuk penganut agama tertentu misalnya — sebab orang tidak percaya terhadap satu agama pun — boleh, bisa dan dapat melakukannya, asalkan orang yang bersangkutan itu mau dan mampu melakukan dengan cara yang dipilihnya sendiri — bagaimana caranya — mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan.
Dalam pandangan tasawuf Jawa — agaknya inilah yang dimaksud dari “manunggal ling kawulo lan gusti” itu. Dalam pengertian, bersatunya manusia dengan Tuhan. Jadi jelas tidak dapat dipahami bahwa manusia yang bersangkutan telah menjadi Tuhan.
Tragika dalam mitos yang nyaris sama itulah yang terjadi dalam kisah Syeh Siti Jenar yang dibunuh oleh para Wali ketika itu. Padahal dalam cara pemahaman yang bijak, yang dibunuh oleh para Wali itu hanyalah ajarannya semata yang dikhawatirkan bisa menyesatkan masyarakat awam.
Itulah sebabnya, petuah dan wanti-wanti dalam meniti jalan tasawuf saat berada di wilayah spiritual harus hati-hati, perlu pembimbing arah afar tidak sampai tersesat sampai ke akherat.
Bolehlah dikata, spiritual itu adalah esensi dari perjalanan setiap orang mendekatkan diri kepada Tuhan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan tanpa pamrih, demi dan untuk kesempurnaan sebagai khalifatullah di bumi.
Banten, 8 November 2024.
( Yunus hrp/Rls ).